![]() |
Oleh : Nanang Rianto, S.Sos Penulis adalah wartawan sinyal Ponorogo |
PONOROGO,- Tak banyak grup WhatsApp yang mampu bertahan dalam hiruk-pikuk perbedaan pandangan tanpa tercerai-berai. Namun PCA (Ponorogo Community Asli) membuktikan bahwa ruang digital bukan hanya tempat menyebar kabar, tapi juga laboratorium demokrasi yang hidup—penuh dinamika, kritik, bahkan sesekali gesekan—namun tetap utuh.
Dengan lebih dari 500 anggota dari berbagai latar belakang—mulai dari pejabat, pengusaha, politisi, praktisi hukum, jurnalis, tokoh agama hingga masyarakat umum—PCA menjadi wadah unik di tengah derasnya arus informasi dan perdebatan publik. Tak heran jika banyak yang menyebut grup ini sebagai cermin miniatur Ponorogo itu sendiri.
Yang menarik, meski tak ada klasifikasi resmi, para anggota cenderung terbagi dalam kelompok-kelompok: pendukung pemerintahan, oposisi kritis, semi-netral, hingga mereka yang memilih menjadi penggembira namun setia membaca setiap percakapan.
Minggu ini, topik Grebeg Suro 2025 menjadi magnet utama. Rencana dan pelaksanaannya menuai pro-kontra yang ramai. Kelompok kritis tak segan menyoroti titik-titik lemah perhelatan budaya tersebut. Bukan untuk menjatuhkan, tapi justru agar penyelenggaraan tradisi tahunan itu bisa lebih matang dan membumi.
Di sisi lain, pihak yang mendukung pemerintah hadir membela argumen dengan data dan perspektif optimis. Terkadang, percakapan memanas, urat leher (meski virtual) menegang, namun suasana tetap terjaga.
Semua itu tak lepas dari peran admin grup PCA, yang aktif memantau jalannya diskusi. Jika ada percakapan yang melampaui batas etika atau mengarah pada konflik pribadi, admin tak segan menghapusnya demi menjaga suasana tetap kondusif.
Namun tidak semua pihak bisa menahan diri. Ada saja yang ‘ngegas’—membalas kritik dengan emosi. Tapi anehnya, itu pun terasa menarik. Karena dalam PCA, loyalitas anggota terhadap ‘barisan’ masing-masing membuat percakapan semakin seru.
Ada semacam ikatan tak tertulis: ketika satu kelompok diserang, yang lain sigap membela, tentu dengan argumen dan literasi yang mencerdaskan.
Di tengah perbedaan itu, ada satu benang merah yang menyatukan: kehausan akan informasi yang jernih dan diskusi yang sehat. Inilah yang membuat PCA tak pernah sepi. Obrolan demi obrolan terasa sayang untuk dilewatkan. Kadang lucu, kadang getir, kadang menampar logika kita yang kerap terburu-buru menilai tanpa data.
PCA bukan sekadar grup. Ia adalah ruang belajar. Di sana, kita diajak memahami bahwa berbeda itu biasa. Bahwa kritik, bila disampaikan dengan santun dan berdasarkan fakta, bisa menjadi pupuk bagi kemajuan. Bahwa diam juga pilihan, tapi keterlibatan aktif justru memberi warna.
Tentu, kita berharap semua anggota tetap waras secara nalar dan batin. Tidak membawa perbedaan pandangan ke hati. Tidak menjadikan kritik sebagai serangan pribadi. Sebab hidup di era digital menuntut kedewasaan bukan hanya dalam bersikap, tapi juga dalam mencerna dan menahan diri.
Akhirnya, semoga silaturahmi ini terus berlanjut. PCA bukan hanya grup, tapi ruang yang menunjukkan bahwa Ponorogo punya banyak orang hebat yang siap menyumbang pikiran dan tenaga demi tanah kelahiran.
Dan untuk kita semua, selamat menikmati dinamisnya grup PCA. Ambillah manfaatnya, buang emosi tak perlu, dan biarkan perbedaan menjadi bumbu yang menyedapkan, bukan merusak.***
Posting Komentar