Kang Giri dan Ponorogo PascaOTT
![]() |
| Teguh Wiyono, SE., ME. Penulis adalah Direktur Fokalita, Mahasiswa RPL Prodi Ilmu Hukum Umpo |
OTT Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko atau yang biasa di-branding dengan panggilan Kang Giri oleh KPK pada Jumat (7/11) lalu yang diikuti dengan penggeledahan di sejumlah tempat mulai Ponorogo, Madiun, Surabaya, hingga Bangkalan, juga pemeriksaan sekitar 80an saksi mulai dari pihak kerabat, ASN serta swasta di Mapolresta Madiun, benar-benar menjadi peristiwa hukum-politik terdahsyat sepanjang sejarah Bumi Reyog.
Seorang bupati yang terpilih dua kali berturut-turut hasil pilkada langsung langsung, dicokok tim antirasuah bersama dua orang penting di lingkungan Pemkab Ponorogo; Sekda (terlama!) Agus Pramono, dan Direktur RSUD Hardjono Yunus Mahatma, seorang dokter spesialis penyakit dalam.
Kaget Vs Tak Kaget
Masyarakat Ponorogo terbelah menyaksikan aksi OTT KPK pada Kang Giri. Secara sederhana dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok; “Kaget” dan “Tak Kaget.” Bagi kelompok yang “kaget,” tentu banyak alasan yang mendasari atas kekagetannya. Bagi mereka, seolah tak mungkin sosok yang mereka kenal sangat multitalenta; sederhana, merakyat, humanis, memiliki jiwa seni tinggi, pandai menyanyi, juga kerap berpenampilan religius, ditangkap KPK dengan sangkaan jual beli jabatan.
Kang Giri juga disangka menerima gratifikasi dari sejumlah pengaturan lelang pengadaan barang jasa di RSUD Hardjono dan beberapa SKPD di Pemkab Ponorogo.
Kelompok “kaget” ini benar-benar seperti tak percaya dengan apa yang menimpa idolanya. Karena selain dipandang sebagai pemimpin yang multitalenta, Kang Giri juga dinilai sukses merangsang pertumbuhan UMKM, memoles wajah kota menjadi magnet wisatawan, serta memperbaiki beberapa ruas jalan rusak. Wajar atas kekagetannya, muncullah gerakan pembelaan yang luar biasa.
Dari getolnya membela di jagad maya, menggelar doa bersama yang dihadiri ratusan orang, hingga harapan Kang Giri bisa dibebaskan seperti beberapa terdakwa kasus korupsi yang mendapat grasi, abolisi atau rehabilitasi dari Presiden Prabowo beberapa saat yang lalu. Sebab mereka berkeyakinan; Kang Giri layak dibela!.
Sebaliknya, bagi kelompok yang “tak kaget,” Kang Giri tersangkut kasus korupsi sudah sangat terang benderang selaksa terangnya cahaya matahari di siang hari di musim kemarau jauh-jauh hari. Hanya soal waktu saja. Dalam pandangannya, tak sedikit program Kang Giri yang mengundang tanda tanya besar dari sisi hukum.
Dan yang paling menonjol adalah pembangunan monumen reyog. Membandingkan anggaran yang telah digelontorkan dengan capaian fisik pembangunan, secara kasat mata saja sudah menimbulkan kecurigaan. Apalagi jika dilakukan penyelidikan lebih dalam.
Ditambah lagi isu praktik jual beli jabatan, ijon proyek dan pengaturan pengadaan barang dan jasa yang sudah menjadi rahasia umum di kalangan elit politik Ponorogo sejak awal Kang Giri menjabat, khususnya elit ASN dan kontraktor.
Mengingat merekalah kelompok rentan atas isu-isu tersebut. Sebaliknya, masyarakat akar rumput tak banyak yang tahu, dan mungkin juga tak mau tahu. Sehingga wajar citra Kang Giri di mata mereka tetap positif, bahkan bagi sebagian akar rumput hingga saat ini.
Citra Vs Realita
Membaca karya filsuf dan teoretikus budaya asal Prancis, Jean Baudrillard, Simulacra and Simulation (1981), sebuah traktat filosofis yang secara fundamental menantang cara pandang masyarakat terhadap realitas, simbol, dan tatanan sosial, dalam konteks politik pencitraan, bisa membantu menganalisis seperti apa pembangunan citra yang dilakukan Kang Giri.
Dalam satu bahasannya, Baudrillard menjelaskan tentang Precession of Simulacra atau presesi simulacra yang terdiri dari empat fase: tatanan sakramental, tatanan kejahatan (maleficence), tatanan sihir (sorcery), dan simulacrum murni (simulation).
Pertama, tatanan sacramental. Dalam fase ini, citra adalah refleksi setia dari realitas dasar atau kenyataannya. Apa yang ditampilkan di permukaan merupakan cerminan apa yang ada di dalam. Dan inilah kondisi ideal pencitraan.
Kedua, tatanan kejahatan (maleficence). Dalam fase ini, citra sudah menutupi dan memutarbalikkan realitas. Pencitraan yang dibangun menyimpang dari aslinya. Rekayasa-rekayasa menyimpang sudah bekerja.
Ketiga, tatanan sihir (sorcery). Pada fase ini, citra sudah menutupi ketiadaan realitas dasar atau aslinya. Keadaan aslinya sudah tidak ada lagi, namun ia masih berpura-pura menjadi salinan yang setia dari sebuah orisinalitasnya.
Keempat, tatanan simulacrum murni (simulation). Pada fase keempat ini, citra sudah tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas dasar. Citra sudah benar-benar menjadi tiruan yang bahkan melebihi aslinya atau hipperrealitas.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dengan pencitraan yang dibangun Kang Giri?. Sangkaan praktik jual beli jabatan dan menerima gratifikasi dari sejumlah pengadaan barang dan jasa jelas merupakan bentuk sikap yang berlawanan arah dengan citra yang Kang Giri bangun dan tampilkan; pemimpin tak berjarak, merakyat, sederhana, supel, humanis, berjiwa seni tinggi, dan religius.
Kang Giri pada konteks terjaring OTT KPK menunjukkan tanda atau simbol atas ketidak-setiaannya pada citra yang Kang Giri dibangun dan tampilkan. Bahkan cenderung lebih dekat dengan bentuk tanda atau simbol kejahatan (maleficence) dan sihir (sorcery). Pemutarbalikkan fakta dan kepura-puraan menjadi indikator kuatnya.
Ponorogo PascaOTT
It is better to light a candle than to curse the darkness (Lebih baik menyalakan lilin daripada mengutuki kegelapan), peribahasa yang kiranya relevan untuk Ponorogo pascaOTT. Menyalakan lilin dalam wujud introspeksi berjamaah.
Pertama, untuk para pemimpin. Bahwa di era medsos, pencitraan sudah menjadi tuntutan yang tak terelakan. Namun demikian, alangkah bijaknya jika pencitraan yang dibangun disandarkan realitas dasar. Bukan kepura-puraan atau bahkan pembohongan.
Sepandai-pandainya pemimpin mengelabuhi rakyatnya, ada KPK yang selalu mengawasi gerak gerik dan sepak terjangnya. Semakin lebar jarak antara pencitraan yang dibangun dengan realitas yang dijalani, hanya akan menimbulkan kecurigaan banyak kalangan untuk melakukan penelisikan lebih dalam. Ujung-ujungnya menjadi objek penyelidikan dan penyidikan.
Kedua, untuk partai politik. Partai politik dituntut introspeksi secara fundamental. Praktik-praktik mahar pencalonan yang kadang seperti lelang, yang memberi andil besar bagi kepala daerah terpilih melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum, sudah waktunya diakhiri. Jika tidak, semua hanya persoalan nasib dan waktu saja.
Hari ini bisa Kang Giri, tapi besok atau lusa, bisa siapa saja. Termasuk partai politik harus berani melakukan verifikasi, bahkan “interupsi” jika pencitraan yang dibangun calon-calon kepala daerah cenderung bersifat kepura-puraan atau pembohongan. Tidak hanya mengamini dan memuja popularitas. Sebagai bentuk tanggung jawab memberikan pendidikan politik masyarakat sebagaimana fungsi partai politik.
Ketiga, untuk masyarakat. Apa yang terjadi pada Kang Giri, juga kepala daerah lain yang berurusan dengan hukum, salah satu faktor penyebabnya adalah politik berbiaya tinggi, dan diantara subnya yakni money politic saat pada pilkada. Masyarakat perlu introspeksi bahwa akibat dari money politic, kepala daerah terpilih berpotensi melanggar aturan dalam rangka mengembalikan apa yang telah mereka keluarkan.
Semakin banyak yang dikeluarkan, semakin besar pula potensi pelanggarannya. Barangkali ini pula yang menjadi pertimbangan Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia mewacanakan kepala daerah dipilih DPRD.
Masyarakat juga perlu melakukan introspeksi atas pertimbangan yang dipakai dalam menentukan pilihan politik, khususnya menghadapi pengaruh gempuran politik pencitraan. Bahwa politik pencitraan yang dibangun calon-calon kepala daerah bisa jadi memang benar-benar merupakan gambaran dari watak aslinya.
Namun juga bisa sebaliknya, merupakan muslihat untuk menutupi tabiat aslinya, yang kadang saling bertentangan. Masyarakat dituntut bernalar kritis agar tak mudah dikelabuhi, dan akhirnya menyesal di kemudian hari.
Memiliki kepala daerah yang multitalenta; sederhana, merakyat, humanis, memiliki jiwa seni tinggi, pandai menyanyi, religius, tentu menjadi dambaan masyarakat daerah manapun. Namun demikian, ukuran kualitas dan kapasitas kepemimpinan kepala daerah bukan sebatas pada sifat-sifat personal tersebut.
Jauh lebih utama adalah bagaimana keberpihakan program-programnya yang bertumpu pada kebutuhan dasar masyarakat banyak, kebijakannya dalam melakukan mutasi dan promosi jabatan, serta lelang pengadaan barang dan jasa. Sebab ketiga instrumen penting tersebut akan menjadi simbol dan penanda seperti apa sesungguhnya watak asli seorang kepala daerah tersebut.
Dan, Ponorogo Hebat belum terlambat. Asal, program-programnya pro rakyat, meritokrasinya diperketat, serta persaingan lelang pengadaan barang dan jasanya benar-benar sehat.***
