![]() |
Oleh : Nanang Rianto, S.Sos Penulis adalah Wartawan Sinyal Ponorogo |
Beberapa ASN secara sadar memilih berpihak demi kepentingan karier, namun banyak pula yang terpaksa terlibat karena posisi mereka yang rentan.
Di banyak daerah, ASN menghadapi dilema besar saat Pilkada tiba. Mereka ditarik ke dalam politik praktis, baik secara halus maupun terang-terangan. Ada yang dipaksa menunjukkan dukungan terhadap petahana, ada pula yang diiming-imingi posisi strategis jika kandidat tertentu menang.
Namun, bagi yang memilih netral, risiko tetap mengintai. Jika kepala daerah baru tak melihat mereka sebagai bagian dari barisan pendukungnya, posisi dan karier ASN bisa terancam.
Dampak Pilkada terhadap Karier ASN
Salah satu kasus terbaru di Ponorogo menunjukkan bagaimana seorang pejabat eselon 2 dinonjobkan pasca-Pilkada, diduga karena terlibat politik praktis. Ini bukan kasus pertama, dan kemungkinan besar bukan yang terakhir.
Pilkada selalu menghadirkan jebakan bagi ASN: jika berpihak dan kandidatnya menang, mungkin kariernya akan bersinar. Namun, jika kandidat yang didukung kalah, mereka harus siap menghadapi konsekuensi, termasuk pencopotan jabatan atau mutasi ke posisi yang tidak strategis.
Dilema ini semakin nyata karena sistem politik yang ada belum mampu sepenuhnya melindungi ASN dari intervensi politik. Undang-undang memang mengatur netralitas ASN, tetapi dalam praktiknya, tekanan dari elite politik sulit dihindari.
Ada ASN yang terpaksa tunduk karena ancaman karier, ada pula yang berharap mendapatkan keuntungan jika kandidat yang didukung berhasil berkuasa.
Antara Netralitas dan Kepentingan Politik
Pilkada langsung yang awalnya dimaksudkan untuk memperkuat demokrasi justru semakin memperumit posisi ASN. Dalam sistem birokrasi yang masih sarat dengan budaya patronase, ASN yang berusaha menjaga netralitas sering kali berada di posisi sulit.
Mereka bisa dianggap tidak loyal jika tidak mendukung petahana atau calon tertentu. Di sisi lain, jika terlalu aktif terlibat, mereka bisa berisiko terkena sanksi jika lawan politik mengungkap keterlibatan mereka.
Fenomena ini memunculkan pertanyaan besar: apakah sistem Pilkada langsung masih relevan bagi stabilitas pemerintahan, terutama dalam menjaga profesionalisme ASN? Jika tekanan politik terus menguat, netralitas ASN akan semakin sulit diwujudkan.
Dalam jangka panjang, birokrasi yang seharusnya profesional dan independen justru akan terkooptasi oleh kepentingan politik, yang pada akhirnya berdampak pada pelayanan publik yang tidak maksimal.
Reformasi Pilkada dan Perlindungan ASN
Situasi ini seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah dan pembuat kebijakan untuk mengevaluasi mekanisme Pilkada. Perlu ada penguatan regulasi yang benar-benar mampu melindungi ASN dari tekanan politik, baik dari petahana maupun kandidat yang bertarung.
Selain itu, sanksi bagi kepala daerah yang terbukti melakukan intervensi terhadap ASN dalam kontestasi politik harus diperketat.
Pilkada semestinya menjadi ajang demokrasi yang sehat, bukan alat untuk mempertaruhkan nasib ASN dalam pusaran politik praktis. Jika tidak ada perbaikan sistem, maka setiap Pilkada akan terus menjadi ajang politik transaksional yang tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga menghancurkan profesionalisme birokrasi.
ASN akan terus menjadi korban, sementara kepentingan rakyat perlahan terabaikan. Jika demokrasi terus berjalan seperti ini, lalu siapa yang sebenarnya berdaulat? Rakyat, atau elite yang sedang berebut kekuasaan?***
Posting Komentar