Penampilan para warog dalam Festival Reyog Remaja di Grebeg suro 2025
PONOROGO, SINYALPONOROGO - Ledakan jumlah peserta mewarnai perhelatan Festival Nasional Reog Ponorogo (FNRP) XXX dan Festival Reog Remaja (FRR) XXI tahun 2025. Sebanyak 66 grup reog dari berbagai penjuru Nusantara, termasuk dari Palembang di barat hingga Waropen, Papua di timur, datang memadati panggung budaya di Alun-alun Ponorogo, menjadikan tahun ini sebagai salah satu yang paling semarak dalam sejarah festival.
Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga (Disbudparpora) Ponorogo, Judha Slamet Sarwo Edi, menyebut lonjakan peserta ini bukan hanya karena kompetisi, tapi karena kebanggaan kolektif atas pengakuan dunia terhadap Reog Ponorogo.
"Ledakan ini adalah dampak langsung dari semangat masyarakat setelah Reog ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Ini bukan hanya festival, ini adalah gerakan pelestarian budaya," ujar Judha, Rabu (18/6/2025).
Kebanggaan itu memancar kuat sejak pembukaan Grebeg Suro 2025 pada Selasa malam (17/6/2025), saat Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko secara simbolis membuka festival dan menerima sertifikat resmi UNESCO. Momen itu menjadi titik balik perayaan Reog sebagai milik budaya dunia yang lahir dari tanah Ponorogo.
Dari Pelajar Hingga Profesional, Semua Menyatu di Tanah Reog
Tahun ini, FNRP XXX diikuti 41 grup reog dari berbagai daerah, sementara FRR XXI diikuti 24 grup reog remaja yang sebagian besar berasal dari kalangan pelajar SMP dan sederajat se-Kabupaten Ponorogo.
Mereka datang dengan modal semangat dan dana swadaya, membuktikan bahwa Reog tidak sekadar warisan masa lalu, tapi juga energi masa depan.
Peningkatan jumlah peserta membuat penyelenggara menyesuaikan format. Jika tahun sebelumnya hanya delapan grup tampil tiap malam, kali ini 10 hingga 12 grup tampil setiap malam, membuat Alun-alun Ponorogo nyaris tak pernah sepi selama gelaran berlangsung.
“Mereka ini datang dengan semangat nguri-uri budaya. Mereka berlatih keras, menempuh perjalanan panjang, bahkan ada yang membawa seluruh tim secara mandiri dari daerah asalnya,” kata Judha.
Tanggung Jawab Kolektif, Reog Harus Tetap Hidup
Lonjakan peserta festival ini menunjukkan bahwa Reog telah tumbuh menjadi simbol identitas kultural yang menjangkau lintas batas geografis dan generasi. Namun, bagi Judha, tantangannya justru dimulai sekarang: memastikan Reog tetap hidup dan relevan dalam pusaran zaman.
“Festival ini bukan hanya ajang lomba. Ini bagian dari skema pelestarian yang konkret. Reog tidak boleh hanya dirayakan ketika ada pengakuan internasional, tetapi harus terus dipupuk dalam keseharian masyarakat,” tegasnya.
Di sisi lain, keberhasilan FNRP dan FRR tahun ini juga membawa dampak ekonomi yang nyata. Hotel-hotel penuh, pedagang kaki lima kebanjiran pembeli, dan pelaku UMKM lokal ikut merasakan denyut ekonomi budaya.
“Kami optimis rangkaian Grebeg Suro 2025 akan berdampak pada peningkatan kunjungan wisatawan, yang pada akhirnya mendorong ekonomi warga,” ujar Judha.
Ponorogo Bukan Sekadar Tuan Rumah
Bagi Ponorogo, menjadi tuan rumah festival ini bukan sekadar rutinitas tahunan, tetapi wujud tanggung jawab sejarah dan budaya. Bahwa di tanah inilah Reog lahir, berkembang, dan kini dikenang dunia.
Festival tahun ini telah menjadi pengingat, bahwa Reog bukan hanya tontonan. Ia adalah cermin jati diri bangsa — keras, agung, dan tak pernah padam oleh zaman.
Penulis : Nanang
Posting Komentar