“Bunda Lisdyarita dan Babak Baru Persatuan Media Ponorogo”
![]() |
| Nanang Rianto, S, Sos Wartawan Sinyal Ponorogo |
Ada momen yang kadang tampak sederhana, tetapi diam-diam menyimpan getaran perubahan besar. Jumat pagi di Taman Jatimori, ketika puluhan awak media berkumpul dalam media gathering bersama Plt. Bupati Ponorogo, Lisdyarita, adalah salah satunya. Di balik tawa ringan, nyanyian bersama, dan permainan yang mencairkan suasana, ada pesan kuat yang terucap jelas dari sosok yang akrab disapa Bunda Lisdyarita.
“Mulai hari ini saya tidak ingin membeda-bedakan. Saya ingin semua teman-teman media bergabung dan menjadi mitra Pemkab Ponorogo.”
Ucapan itu mungkin terdengar sederhana. Namun bagi ekosistem media Ponorogo, yang selama ini secara jujur sering terbelah dalam kelompok-kelompok kecil—baik karena latar, dinamika organisasi, kedekatan dengan pejabat, bahkan rivalitas antar media—pernyataan dari seorang pemimpin daerah adalah angin segar yang jarang datang. Sebab ia mengandung dua hal sekaligus: penerimaan dan kesetaraan.
Media punya peran strategis sebagai penopang demokrasi lokal. Ia mengawasi, mengkritisi, sekaligus menjadi jembatan antara pemerintah dan masyarakat. Namun menjalankan peran itu tidak mudah ketika antar jurnalis sendiri hidup dalam kotak-kotak yang menghambat kolaborasi. Ajakan Bunda Lisdyarita adalah pukulan gong yang mengingatkan bahwa Ponorogo membutuhkan media yang tidak hanya bekerja, tetapi bersatu.
Yang menarik, Bunda Lis tidak membungkus pesan itu dalam bahasa formal. Ia menyampaikannya dalam suasana cair, saat semua orang sedang larut dalam kebersamaan. Di situ letak kekuatannya. Pendekatan personal itu menghadirkan rasa bahwa pemerintah tidak sedang memanggil media sebagai “alat”, tetapi sebagai partner.
Kita tentu boleh kritis—dan memang harus—karena kritik adalah nadi media. Namun kita juga perlu jujur bahwa relasi pemerintah dan media telah lama butuh perbaikan. Butuh ruang dialog yang setara. Butuh pemimpin yang tidak alergi kritik. Dan butuh media yang tidak bekerja dengan prasangka.
Dalam konteks itulah ajakan Bunda Lisdyarita terasa inspiratif. Ia bukan sekadar undangan untuk duduk bersama, tetapi ajakan untuk memulai babak baru: media yang tidak lagi terpecah, tetapi bergerak dalam satu semangat—membangun Ponorogo dengan narasi yang jernih, progresif, dan berpihak pada kepentingan publik.
Jika momen di Taman Jatimori itu benar-benar menjadi titik balik, maka kita sedang menyaksikan sesuatu yang penting:
bahwa persatuan tidak selalu lahir dari rapat besar, tetapi bisa tumbuh dari pertemuan hangat yang tulus.
Dan mungkin, di antara nyanyian bersama dan permainan ringan itu, benih perubahan sudah ditanam. Tinggal bagaimana media Ponorogo merawatnya menjadi kekuatan bersama yang lebih besar.
Penulis : Nanang Rianto, Wartawan Sinyal Ponorogo
