Denda Resign Karyawan Apotek di Sambit Viral, Disnaker Ponorogo Akan Klarifikasi
Sunaryo,
Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Ponorogo (foto lingkar wilis)
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Polemik denda Rp5 juta yang dikenakan kepada salah satu karyawan apotek di wilayah Sambit, Ponorogo, yang mengundurkan diri sebelum masa kontrak kerja dua tahun rampung, kini mulai mendapat perhatian dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kabupaten Ponorogo.
Sunaryo, Kepala Bidang Hubungan Industrial Disnaker Ponorogo, mengakui bahwa pihaknya sudah mengetahui isu tersebut dari media sosial yang belakangan ramai memperbincangkannya.
Namun, ia menegaskan bahwa pihaknya belum dapat memberikan pernyataan resmi tanpa klarifikasi langsung kepada pihak terkait.
“Memang sudah kita pantau, tapi karena ini sensitif, kita harus pastikan dulu kebenarannya. Kami tidak bisa gegabah,” ujar Sunaryo kepada Sinyal Ponorogo pada Ahad, 20 April 2025.
Hanya Wewenang Pembinaan
Menurut Sunaryo, dalam struktur birokrasi ketenagakerjaan, Disnaker kabupaten/kota hanya memiliki kewenangan dalam hal pembinaan.
Jika terbukti ada pelanggaran, maka langkah pertama yang dilakukan adalah klarifikasi dan edukasi kepada pihak perusahaan.
“Kalau memang ada penyimpangan, kami akan panggil untuk klarifikasi dan melakukan pembinaan. Tapi kalau tetap bandel, maka pengawasan dilimpahkan ke Disnaker Provinsi Jatim,” tambahnya.
Ia menyebutkan kantor pengawasan provinsi berada di LPK Karanglo, Sukorejo, Ponorogo.
Sunaryo menyampaikan bahwa pihaknya telah berkoordinasi internal, dan jika tidak ada halangan, pada Senin 21 April 2025, Disnaker akan mendatangi apotek yang bersangkutan untuk meminta penjelasan.
“Langkah ini murni klarifikasi, untuk mencari tahu kebenaran atas apa yang saat ini viral. Kami akan tindaklanjuti dengan tetap memegang kewenangan yang kami miliki,” tegasnya.
UMK yang Tidak Berlaku untuk Semua
Dalam kesempatan yang sama, Sunaryo juga menyinggung soal banyaknya perusahaan di Ponorogo yang membayar gaji di bawah UMK. Menurutnya, hal tersebut masih dibenarkan secara hukum selama perusahaan tersebut masuk kategori usaha mikro atau kecil.
“Aturannya jelas. Jika omzet perusahaan antara 1 hingga 5 miliar rupiah per tahun, mereka tergolong usaha mikro atau kecil, dan tidak wajib membayar gaji sesuai UMK. Hanya usaha menengah ke atas dengan omzet 5 hingga 10 miliar ke atas yang wajib mengikuti UMK,” ujarnya.
Pernyataan ini menunjukkan betapa sempitnya ruang perjuangan bagi pekerja sektor non formal di Ponorogo untuk mendapatkan gaji layak.
Mereka tidak hanya menghadapi sistem kontrak kerja yang berat sebelah, tapi juga kebijakan legal yang belum sepenuhnya berpihak pada pekerja.
Butuh Aksi Nyata, Bukan Sekadar Klarifikasi
Munculnya kasus ini sejatinya membuka tabir praktik-praktik ketenagakerjaan yang masih abu-abu dan tidak ramah terhadap buruh. Denda resign, permintaan jaminan uang di awal kontrak, hingga gaji jauh di bawah UMK menjadi cerita yang berulang dan sistemik.
Langkah klarifikasi dari Disnaker tentu layak diapresiasi, namun publik menanti lebih dari itu: pengawasan yang serius, aturan yang ditegakkan, dan perlindungan nyata bagi pekerja. Jika tidak, kasus seperti ini hanya akan jadi berita viral sesaat tanpa perubahan berarti.
Dan bila praktik-praktik ini dibiarkan terus berjalan, maka bukan tidak mungkin dunia kerja lokal justru menjadi ladang penindasan baru di balik nama legalitas kontrak kerja.
Penulis : Nanang