Kepala Kemenag Ponorogo Klarifikasi Soal Buku MTsN: "Tidak Wajib, Bisa Pakai Lungsuran"
![]() |
Dr. Moh. Nurul Huda, Kepala Kemenag Kabupaten Ponorogo |
PONOROGO, SINYALPONOROGO - Polemik mahalnya biaya buku penunjang pelajaran di salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Ponorogo mengundang perhatian publik. Unggahan dari akun media sosial Ponorogo Komunitas Online pada Selasa (5/8/2025) menyebutkan bahwa orang tua siswa harus mengeluarkan dana hingga Rp1,5 juta hanya untuk membeli buku baru — dengan rincian untuk kelas 7 sebesar Rp1.495.000, kelas 8 sebesar Rp1.551.000, dan kelas 9 sebesar Rp1.479.000.
Buku tersebut diklaim tidak tersedia di perpustakaan dan tidak boleh menggunakan edisi lama. Bahkan untuk mata pelajaran seperti PJOK dan BK pun tetap dibebani pembelian meski hanya untuk satu semester.
Unggahan tersebut sontak viral. Ratusan komentar bermunculan, sebagian besar berisi keluhan wali murid yang merasa terbebani. Banyak yang menilai praktik penjualan buku tersebut menciderai semangat pendidikan gratis di lembaga negara. Sejumlah netizen menyebut sekolah negeri di Ponorogo kini bak “sekolah swasta dengan tarif selangit”.
Klarifikasi dari Kementerian Agama: Tidak Wajib dan Tidak Harus Baru
Menanggapi gejolak tersebut, Dr. Moh. Nurul Huda, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Ponorogo, memberikan penjelasan resmi. Ia mengaku sangat prihatin atas reaksi publik yang muncul, namun juga mengingatkan pentingnya prinsip tabayun atau klarifikasi sebelum menyebarkan informasi yang belum lengkap.
“Unggahan seperti itu tidak menyelesaikan masalah. Akan lebih bijak jika langsung mengonfirmasi ke pihak madrasah atau ke kami di Kemenag. Pasti akan mendapat penjelasan yang baik dan benar,” ujarnya kepada media Rabu, 6/08/2025.
Setelah mengetahui viralnya unggahan tersebut, pihak Kemenag langsung memanggil kepala madrasah yang bersangkutan untuk meminta klarifikasi. Hasilnya, diketahui bahwa tidak ada kewajiban bagi siswa untuk membeli buku baru. Bahkan, lanjut Nurul Huda, siswa diperbolehkan menggunakan lungsuran buku dari kakak kelas, selama masih relevan dengan materi ajar.
“Intinya, pembelian buku itu bukan kewajiban,” tegasnya.
Madrasah Serius Dibangun, Tapi Komunikasi Tetap Kunci
Nurul Huda juga menyampaikan bahwa selama ini pihaknya berupaya membangun kualitas madrasah di Ponorogo agar tidak tertinggal dari sekolah-sekolah lain di tingkatannya, baik dari sisi fasilitas, kurikulum, maupun daya saing siswa.
Namun, ia tak menampik bahwa unggahan di media sosial yang menyudutkan madrasah cukup melukai. Karenanya, ia menekankan pentingnya komunikasi dua arah.
“Kami terbuka kepada siapa saja. Kalau ada hal-hal yang tidak sesuai, mari dibicarakan. Komunikasi tanpa batas selalu kami kedepankan,” tuturnya.
Belajar dari Krisis Kepercayaan
Sementara itu, sejumlah pengamat pendidikan menilai kasus ini sebagai refleksi penting atas ketimpangan antara kebijakan dan praktik lapangan. Ketua Dewan Pendidikan Ponorogo, Assoc. Prof. Dr. H. Muhamad Fajar Pramono, sebelumnya juga menyebut persoalan ini sebagai "bisnis dalam pendidikan" yang sudah berlangsung lama.
Menurutnya, isi buku pelajaran dari tahun ke tahun tak banyak berubah, hanya dikemas ulang agar tampak berbeda. Praktik ini, meski sah dari sisi bisnis, telah membebani siswa dan orang tua, terutama di tengah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Fajar menyerukan agar semua pihak kembali pada khitah pendidikan: mencerdaskan dan memudahkan akses, bukan mempersulit dan membebani.
Penulis : Nanang