Sekolah Negeri Rasa Swasta: MTsN Ponorogo Jual Buku Jutaan Rupiah, Orang Tua Teriak dalam Diam
![]() |
Banyak orang tua mengeluh dalam diam, terhadap aktifitas jual beli buku setiap tahun kepada siswa |
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Gejolak suara dari balik pagar sekolah negeri kembali menyeruak. Kali ini datang dari salah satu Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) di Ponorogo. Orang tua siswa mengeluh keras — meski sebagian hanya bisa menangis dalam diam — lantaran kewajiban membeli buku penunjang pelajaran dengan harga yang mengejutkan.
Dalam unggahan akun Ponorogo Komunitas Online pada Selasa (5/8/2025), terungkap bahwa siswa dari kelas 7, 8, dan 9 “didorong kuat” membeli buku pendamping dengan biaya yang tidak kecil. Untuk kelas 7 total mencapai Rp1.495.000, kelas 8 sebesar Rp1.551.000, dan kelas 9 sekitar Rp1.479.000. Buku-buku tersebut tidak bisa diwariskan, tak tersedia di perpustakaan, dan harus edisi baru.
"Ini sekolah negeri loh, bukan swasta," tulis admin akun tersebut. "Tapi biayanya bikin orang tua menangis diam-diam."
Ironisnya, penjualan dilakukan melalui koperasi sekolah. Meski secara formal disebut "tidak wajib", tekanan sosial dan sistem pembelajaran yang sepenuhnya berbasis buku tersebut membuat siswa seolah tidak punya pilihan lain. Tidak beli buku, berarti tertinggal pelajaran.
Di tengah mahalnya seragam, uang kegiatan, transportasi, hingga perlengkapan sekolah lainnya, pembelian buku berharga jutaan rupiah ini menjadi beban tambahan yang menggunung.
![]() |
Prof. Dr. H. Muhamad Fajar Pramono, M.Si Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Ponorogo |
Komentar dari netizen pun membanjiri unggahan tersebut. Salah satunya, akun bernama Lilik Wahyuni, menyebut bahwa sekolah negeri di Ponorogo terasa lebih mahal dari sekolah swasta di kabupaten lain. Ia menyoroti praktik iuran "infaq" yang tidak jelas dan iuran komite yang terasa seperti kewajiban bulanan.
“Katanya sekolah negeri gratis. Tapi kok kenyataannya justru menyedot dompet orang tua. Apa fungsi komite sekolah selain menambah beban?” tulisnya dengan getir.
Unggahan tersebut disukai lebih dari 300 akun dan dibagikan puluhan kali. Mayoritas komentar mencerminkan keresahan yang sama: pendidikan negeri di Ponorogo kini lebih terasa seperti bisnis formal.
Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Ponorogo, Assoc. Prof. Dr. H. Muhamad Fajar Pramono, M.Si, menanggapi isu tersebut dengan nada prihatin. Ia menyebut fenomena ini sebagai bisnis dalam pendidikan — praktik lama yang belum juga selesai dibenahi.
“Isi buku pelajaran dari tahun ke tahun sebenarnya tidak berubah secara substansi. Tapi tiap tahun dicetak baru, diberi subjudul berbeda, dan dijual kembali. Bagi siswa itu masalah besar, tapi bagi guru tidak signifikan. Sayangnya, yang jadi korban adalah orang tua,” jelasnya.
Fajar menyebut bahwa kepala sekolah, guru, hingga dinas terkait kerap tak berdaya menghadapi dominasi bisnis penerbitan buku. Padahal dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, akses pendidikan harus dipermudah dan tidak diskriminatif secara ekonomi.
Ia menegaskan, “Kita harus kembali ke khitah pendidikan: mencerdaskan dan memerdekakan. Bukan membebani.”
Kini, sorotan publik semakin tajam terhadap lembaga pendidikan negeri di bawah Kementerian Agama Ponorogo. Bila pembiaran terus terjadi, bukan tak mungkin krisis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah negeri kian membesar.
Penulis : Nanang