🔵 NEWS

Cukai, Like and Dislike, dan Senyapnya Kominfo Ponorogo

Nanang Rianto, S.Sos
Penulis adalah wartawan Sinyal Ponorogo 

PONOROGO, – Polemik distribusi dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk media kembali menyeruak di Ponorogo. Pasalnya, hingga akhir September 2025, belum ada kejelasan kerja sama antara Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dengan media lokal, meski janji soal itu sudah berulang kali dilontarkan.

Yang mengemuka justru praktik "like and dislike" dalam penyaluran iklan cukai. Beberapa media terkesan rutin mendapat jatah, sementara yang lain sama sekali tidak tersentuh. Ironisnya, tidak ada kriteria yang jelas terkait mekanisme penentuan penerima. Apakah dilihat dari jumlah pembaca, pengaruh, atau kualitas pemberitaan? Semua serba kabur.

Situasi ini menimbulkan keresahan di kalangan insan pers. Bagi sebagian media, akses ke iklan cukai ibarat oksigen tambahan di tengah iklim bisnis yang makin berat. Namun ketika distribusi tidak transparan, kepercayaan publik terhadap pemerintah juga ikut terganggu.

Salah seorang awak media mengungkapkan, dalam beberapa kegiatan, bahkan undangan pun dilakukan secara personal lewat japrian WhatsApp. Media yang dipanggil nyaris selalu itu-itu saja. “Akhirnya semua terlihat jelas, siapa yang dekat dapat jatah, yang lain hanya jadi penonton,” keluhnya.

Lebih runyam lagi, relasi antara Kominfo dan media pun minim komunikasi. Kabid Humas Kominfo disebut hanya sebatas menjadi penyampai informasi kegiatan bupati. Sementara dialog, koordinasi, atau sekadar membuka ruang diskusi, jarang sekali terjadi. Beberapa wartawan bahkan mengaku pesan mereka diabaikan begitu saja.

Kondisi ini jelas menimbulkan tanda tanya. Tanpa komunikasi yang sehat dan aturan main yang jelas, kerja sama pemerintah dengan media dikhawatirkan hanya akan menjadi ajang bagi-bagi proyek yang penuh subjektivitas.

Padahal, media lokal adalah garda depan penyampai informasi daerah. Mereka tak hanya melaporkan aktivitas pemerintahan, tetapi juga menjadi penyalur aspirasi masyarakat yang sering tak terjangkau oleh media besar. Mengabaikan media lokal sama saja dengan mereduksi fungsi demokrasi di tingkat daerah.

Kini, bola ada di tangan Kominfo Ponorogo. Jika terus bersikap senyap, keretakan relasi dengan media bisa makin dalam. Ke depan, pemerintah daerah dituntut untuk segera membuka ruang transparansi, membuat kriteria jelas, serta melibatkan semua media secara adil.

Karena demokrasi yang sehat hanya bisa berjalan jika pemerintah dan media saling menopang. Bukan sekadar lewat japrian pribadi, melainkan melalui keterbukaan yang bisa dirasakan semua pihak.***


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
Posting Komentar