Tamparan yang Menggema: Antara Kedisiplinan, Emosi, dan Krisis Keteladanan
![]() |
| Penulis adalah Nanang Rianto, S.Sos Wartawan Sinyal Ponorogo |
PONOROGO, SINYALPONOROGO - Kasus penamparan siswa oleh Kepala SMAN 1 Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, karena kedapatan merokok di lingkungan sekolah, kini menjadi perbincangan panas di jagat maya. Dalam sekejap, video dan narasi yang berseliweran di media sosial menyalakan perdebatan: siapa yang benar — guru yang menegakkan disiplin, atau siswa yang merasa dilecehkan?
Berbagai versi cerita muncul. Ada yang menyebut sang kepala sekolah menampar karena emosi sesaat, ada pula yang mengatakan tindakan itu spontan karena kesal melihat pelanggaran yang berulang. Namun tak lama setelah video itu viral, Wakil Gubernur Banten turun tangan. Ia memutuskan mencopot jabatan kepala sekolah tersebut dengan alasan menjaga kondusivitas dunia pendidikan.
Langkah itu justru memantik gelombang opini baru. Warganet terbelah, tetapi menariknya, simpati publik di media sosial banyak mengalir kepada sang kepala sekolah. Mayoritas komentar menilai si siswa terlalu manja, “lebay,” bahkan disebut anak mama papa karena dianggap tidak siap menerima konsekuensi dari kesalahannya. “Dulu kami dipukul pakai penggaris pun tak berani ngadu,” tulis salah satu netizen, yang mengenang masa sekolahnya dengan nada nostalgia.
Namun, di balik hiruk-pikuk komentar itu, ada sisi lain yang lebih penting untuk direnungkan. Dunia pendidikan kini berada di persimpangan: antara disiplin dan kekerasan, antara ketegasan dan emosi. Dalam konteks psikologis, hukuman fisik — sekeras apapun niat baiknya — cenderung meninggalkan luka. Ia memang bisa menghentikan perilaku sesaat, tetapi sering menumbuhkan rasa takut, dendam, atau bahkan kebencian. Hubungan guru dan siswa pun bisa retak, kehilangan makna edukatifnya.
Kita tentu sepakat bahwa merokok di sekolah adalah pelanggaran. Tapi cara menegakkan aturan seharusnya tetap dalam koridor pendidikan, bukan emosi. Guru, sejatinya, adalah teladan yang menginspirasi, bukan sosok yang menakutkan. Namun di sisi lain, siswa dan orang tua juga perlu bercermin: apakah generasi sekarang terlalu mudah merasa tersinggung, terlalu cepat mengadukan setiap persoalan ke publik, seolah semua bisa diselesaikan lewat viralitas?
Kisah di Cimarga mestinya menjadi cermin bersama. Bahwa disiplin tak harus lahir dari tamparan, tapi dari keteladanan dan komunikasi yang mendidik. Begitu pula hukuman, sebaiknya mengandung nilai koreksi, bukan luka. Dunia pendidikan membutuhkan keseimbangan antara kasih dan ketegasan, bukan antara popularitas dan pencitraan.
Di tengah hiruk-pikuk komentar warganet dan keputusan pejabat yang serba cepat, kita seharusnya kembali ke hakikat sekolah: tempat membentuk karakter, bukan arena saling menjatuhkan. Tamparan itu memang menyakitkan, tapi yang lebih menyakitkan adalah ketika dunia pendidikan kehilangan arah — ketika guru tak lagi dihormati, dan siswa tak lagi tahu di mana batas sopan santun dan tanggung jawabnya.***
