Belajar dari OTT Bupati Ponorogo: Saatnya Bumi Reog Bersih dari Setoran dan Pungli
![]() |
| Oleh : Nanang Rianto, S.Sos Wartawan Sinyal Ponorogo |
PONOROGO - Operasi tangkap tangan (OTT) yang menjerat Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko pada Jumat, 7 November 2025, menjadi tamparan keras bagi wajah birokrasi di bumi reog. Kasus ini memperlihatkan bahwa praktik setoran dan jual beli jabatan masih hidup subur, bahkan di daerah yang dikenal religius dan sarat nilai-nilai moral seperti Ponorogo.
Nilai suap yang terungkap mungkin tampak kecil bagi seorang kepala daerah—hanya ratusan juta rupiah—namun dampak moral dan sosialnya luar biasa besar. Uang itu sejatinya menjadi simbol dari rusaknya sistem meritokrasi yang seharusnya menjadi dasar pengelolaan pemerintahan modern. Ketika jabatan diperjualbelikan, maka hilang sudah ruang bagi orang-orang berkompeten untuk mengabdi dengan tulus. Yang bertahan bukan karena prestasi, tetapi karena setoran.
Ironinya, Sugiri dikenal publik sebagai figur yang piawai berstrategi dan dekat dengan rakyat. Namun, dalam politik dan kekuasaan, keahlian dan citra tak lagi cukup jika diiringi kebiasaan lama: menganggap jabatan sebagai alat dagang dan pelayanan publik sebagai ladang untung. OTT ini membongkar mata rantai panjang pungutan liar, mulai dari kursi jabatan, proyek, hingga pelayanan masyarakat.
KPK telah menetapkan empat tersangka: Bupati Sugiri Sancoko, Sekda Agus Pramono, Direktur RSUD Harjono Yunus Mahatma, dan seorang rekanan proyek. Skemanya rapi, klasik, namun busuk—dari jual beli jabatan, fee proyek rumah sakit, hingga gratifikasi. Total uang yang berpindah tangan mencapai miliaran rupiah, dengan puncaknya Rp500 juta yang diamankan saat OTT berlangsung.
Namun persoalan sesungguhnya bukan semata pada jumlah uang. Ini soal budaya. Budaya “setor” agar jabatan aman, budaya “salam tempel” agar urusan cepat beres, dan budaya “imbalan” yang dianggap lumrah dalam pelayanan publik. Jika ini terus dibiarkan, maka Ponorogo yang dikenal sebagai kota santri akan terperosok menjadi kota setoran.
Momentum ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi para pejabat lain di lingkungan Pemkab Ponorogo. Jangan lagi bersembunyi di balik dalih loyalitas atau “perintah atasan.” Hentikan praktik jual beli jabatan, stop fee proyek, dan bersihkan birokrasi dari aroma transaksional.
Kepada masyarakat, jangan diam. Suara rakyat adalah obat paling mujarab untuk melawan korupsi di daerah. Laporkan jika masih ada pelayanan publik yang berbayar di luar ketentuan. Laporkan jika masih ada pejabat yang bermain dengan anggaran. Karena uang yang dipungut secara liar, sekecil apa pun, adalah bentuk pengkhianatan terhadap kepercayaan rakyat.
Ponorogo punya warisan besar: dari nilai kejujuran para santri, hingga semangat reog yang gagah berani. Sudah saatnya semangat itu diwujudkan dalam pemerintahan yang bersih, transparan, dan berintegritas.
OTT ini bukan akhir segalanya, tapi bisa menjadi awal kebangkitan.
Karena membersihkan birokrasi bukan tugas KPK semata — melainkan tanggung jawab seluruh warga bumi reog. Surodikraman, Minggu Kliwon 9 November 2025
