Debat perdana Cabup dan cawabup Ponorogo 2024 berlangsung seru dan sedikit memanas
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Debat perdana Pemilihan Bupati (Pilbup) Ponorogo 2024 pada Rabu, 23 Oktober 2024 berlangsung dengan penuh ketegangan, terutama ketika sesi tanya jawab antara pasangan calon (Paslon).
Salah satu momen yang paling menyita perhatian adalah ketika Paslon nomor urut 02, Sugiri Sancoko-Lisdyarita, mengajukan pertanyaan kritis kepada Paslon nomor urut 01, Ipong Muchlissoni-Segoro Luhur, terkait pernyataan Ipong mengenai Monumen Reog dan Museum Peradaban (MRMP).
Sugiri Sancoko dalam kesempatan tersebut mempertanyakan kajian yang mendasari Ipong hingga menyebut Monumen Reog sebagai "berhala".
“Pak Ipong, kajian apa yang Anda gunakan hingga kemudian menyebut Monumen Reog dan Museum Peradaban sebagai berhala?” tanya Sugiri, membuat suasana debat semakin memanas.
Menanggapi hal itu, Ipong Muchlissoni menjawab dengan tegas bahwa pernyataannya tidak bermaksud untuk menyebut Monumen Reog sebagai berhala.
Ia menjelaskan bahwa pembangunan monumen tidak menjadi syarat untuk mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Yang lebih penting, menurut Ipong, adalah pelestarian budaya, khususnya kesenian Reog dan para pemainnya.
“Untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO, monumen tidak menjadi syarat. Yang diperlukan adalah pelestarian budaya. Di masa saya menjabat, saya sudah melakukan upaya pelestarian ini dengan menggelar Gebyar Reog tiap tanggal 11 setiap bulannya di seluruh Kabupaten Ponorogo. Namun, sekarang ini saya tidak melihat ada program pelestarian yang jelas,” jelas Ipong.
Ia melanjutkan bahwa seharusnya prioritas diberikan pada pelestarian Reog dengan cara memperkenalkannya ke dunia internasional.
“Jika kita ingin Reog dikenal dunia, bawa kesenian ini keluar negeri dan ajak orang-orang Barat untuk memainkan Reog, seperti yang terjadi dengan Angklung yang kini sudah diakui sebagai warisan budaya dunia. Itu contoh yang nyata,” tambahnya.
Ipong juga menyoroti penggunaan APBD yang terbatas untuk membangun monumen. Ia menyebutkan bahwa APBD Ponorogo sebesar Rp2,3 triliun sudah banyak tersedot untuk belanja rutin dan pegawai, sehingga menurutnya pembangunan monumen seharusnya dibiayai melalui sumber lain seperti APBN.
“Di era saya, Pasar Legi bisa dibangun dengan dana APBN, bukan APBD. Dengan anggaran daerah yang terbatas, lebih baik fokus pada pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan dasar lainnya,” tegasnya.
Selain itu, Ipong juga mengkritisi hilangnya insentif bagi kader posyandu yang dulu diberikan sebesar Rp250 ribu per bulan di masa kepemimpinannya.
“Sekarang insentif itu tidak ada lagi dengan alasan tidak ada uang, tapi di sisi lain, bisa membangun Monumen Reog? Bukankah sesuatu yang diagung-agungkan berpotensi menjadi berhala? Saya tidak pernah mengatakan Monumen Reog itu berhala, tapi kalau sesuatu diagungkan berlebihan, itu bisa dianggap demikian,” jelas Ipong.
Debat perdana ini menjadi ajang pembuktian kedua pasangan calon dalam menyampaikan visi dan misi mereka. Dengan isu Monumen Reog yang mengemuka, masyarakat Ponorogo kini menantikan solusi nyata yang bisa mengangkat seni budaya Reog tanpa membebani anggaran daerah.(Nang).
Posting Komentar