![]() |
Oleh: Nanang Rianto, S.Sos Wartawan Sinyal Ponorogo |
PONOROGO,- Pemerintahan yang kuat tak sekadar diukur dari dominasi politik di parlemen, tetapi juga dari sejauh mana kebijakan yang diambil menjawab kebutuhan masyarakat. Dalam 100 hari kepemimpinan nasional, Presiden Prabowo Subianto disebut sebagai salah satu pemimpin terkuat di dunia, dengan tingkat kepuasan mencapai 80 persen.
Bupati Sugiri Sancoko memimpin dengan dukungan politik yang solid. Partai-partai pengusungnya menguasai 35 dari 45 kursi di DPRD Ponorogo. Namun, kuatnya dukungan politik ini tidak serta-merta sejalan dengan kepuasan masyarakat.
Kritik deras terhadap tata kelola pemerintahan, terutama dalam aspek infrastruktur jalan, menjadi sorotan utama. Warga berulang kali menyuarakan keluhan terkait jalan rusak, tetapi respons dari parlemen relatif minim.
Seakan-akan, para legislator telah nyaman dalam barisan kekuasaan tanpa tekanan berarti dari oposisi yang hanya memiliki 10 kursi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah parlemen benar-benar berfungsi sebagai penyeimbang eksekutif, atau sekadar menjadi perpanjangan tangan pemerintah?.
Demokrasi yang sehat bukan hanya tentang kuatnya dukungan politik di dalam gedung dewan, tetapi juga bagaimana kritik dan aspirasi masyarakat menjadi bagian dari dinamika kebijakan.
Salah satu contoh nyata dari ketimpangan ini terlihat dalam polemik pembangunan Monumen Reog dan Museum Peradaban (MRMP) di Sampung. Warga yang kehilangan mata pencaharian akibat penghentian tambang gamping menuntut kejelasan nasib mereka.
Awalnya, mereka dijanjikan bahwa pembangunan MRMP akan sejalan dengan pengembangan ekonomi lokal, tetapi hingga kini, janji tersebut masih jauh dari kenyataan. Ironisnya, parlemen tampak pasif dalam merespons gejolak ini.
Di sisi lain, Sugiri Sancoko menetapkan target ambisius untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Ponorogo hingga Rp1 triliun. Saat ini, PAD baru mencapai Rp300 miliar, angka yang masih jauh dari target.
Jika target ini tercapai, seharusnya Ponorogo tidak perlu terlalu bergantung pada anggaran pusat, terutama ketika kebijakan efisiensi anggaran nasional menyebabkan hilangnya Rp21 miliar yang seharusnya dialokasikan untuk perbaikan infrastruktur.
Evaluasi mendalam menjadi kebutuhan mendesak. Pemerintah daerah perlu membuktikan bahwa mereka tidak hanya mengandalkan stabilitas politik di parlemen, tetapi juga mampu menjawab keresahan masyarakat.
Kritik yang muncul bukanlah ancaman, melainkan indikator bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Jika tidak, gelombang ketidakpuasan publik akan terus membesar, dan kepercayaan terhadap pemerintahan bisa semakin terkikis.
Ke depan, solusi konkret harus segera diwujudkan. Infrastruktur harus diperbaiki, program kesejahteraan harus berjalan efektif, dan janji-janji pembangunan tidak boleh sekadar menjadi retorika.
Keseimbangan antara kekuatan politik dan suara rakyat harus benar-benar dijaga agar Ponorogo bisa melangkah maju tanpa meninggalkan keresahan di belakangnya.***
Posting Komentar