Aliyadi,
Mahasiswa PJJ Hukum Universitas Siber Muhammadiyah,
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Polemik pengisian perangkat desa di Desa Beton, Kecamatan Siman, Ponorogo, terus menjadi perbincangan. Keputusan Kepala Desa Beton, Totok Ismu, yang tetap mengikutsertakan istrinya, Atik, dalam seleksi Sekretaris Desa (Sekdes), menuai protes dari warga.
Di tengah kontroversi ini, Aliyadi, mahasiswa PJJ Hukum Universitas Siber Muhammadiyah, memberikan tinjauan dari aspek hukum dan etika pemerintahan desa.
Menurut Aliyadi, secara hukum nasional, tidak ada aturan yang secara eksplisit melarang istri kepala desa mencalonkan diri sebagai perangkat desa. Beberapa regulasi yang mengatur pengangkatan perangkat desa, seperti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 jo. Permendagri Nomor 67 Tahun 2017, tidak menyebutkan adanya larangan terhadap hubungan keluarga antara kepala desa dan calon perangkat desa.
Namun, di balik legalitas formal tersebut, Aliyadi menyoroti tiga aspek penting yang tetap harus diperhatikan:
1. Netralitas dan Konflik Kepentingan
Meskipun sah secara hukum, pencalonan istri kepala desa berpotensi menimbulkan konflik kepentingan. Proses seleksi perangkat desa harus dilakukan secara transparan dan akuntabel agar tidak menimbulkan persepsi bahwa ada keberpihakan atau keuntungan terselubung bagi pihak tertentu.
“Ketika kepala desa memiliki wewenang dalam proses pengangkatan perangkat, muncul pertanyaan tentang netralitas. Masyarakat bisa saja merasa bahwa keputusan tidak benar-benar adil,” ujar Aliyadi kepada Sinyal Ponorogo Sabtu, 15/03/2025.
2. Regulasi di Tingkat Lokal
Selain regulasi nasional, setiap daerah memiliki Peraturan Bupati (Perbup) atau Peraturan Daerah (Perda) yang bisa membatasi praktik nepotisme.
Jika ada aturan lokal yang melarang keterlibatan keluarga kepala desa dalam jabatan struktural, maka keputusan tetap mengikutsertakan istri dalam seleksi bisa menjadi masalah.
3. Etika Pemerintahan Desa
Dari sudut pandang etika dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), kepala desa seharusnya menghindari tindakan yang bisa menimbulkan kesan nepotisme.
Meskipun tidak ada aturan tertulis yang melarang, mempertahankan profesionalitas dan menjaga kepercayaan publik jauh lebih penting.
“Jabatan publik harus dijalankan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas. Jika kepercayaan warga luntur, maka legitimasi kepemimpinan juga akan dipertanyakan,” tambah Aliyadi.
Kesimpulan: Legalitas vs Moralitas
Dari sisi hukum, tidak ada larangan bagi Atik untuk mencalonkan diri sebagai Sekdes. Namun, dari segi etika dan tata kelola pemerintahan yang baik, keputusan ini dapat memicu ketidakpercayaan masyarakat dan merusak kredibilitas pemerintah desa.
Polemik ini bukan hanya soal aturan tertulis, tetapi juga menyangkut kepekaan sosial dan komitmen terhadap pemerintahan yang bersih. Kini, semua mata tertuju pada langkah selanjutnya dari pemerintah kecamatan dan kabupaten dalam menangani situasi ini.
Apakah akan ada intervensi dari tingkat yang lebih tinggi? Atau masyarakat akan mengambil sikap lebih tegas untuk menolak keputusan kepala desa?(Nang).
Posting Komentar