Janur Membanjiri Pasar Pon: Geliat Ekonomi dan Tradisi Menjelang Lebaran Ketupat di Ponorogo

Para pedagang janur dan ketupat jelang lebaran ketupat di pasar pon Ponorogo 

PONOROGO, SINYALPONOROGO
Menjelang perayaan Lebaran Ketupat 2025, denyut tradisi dan ekonomi rakyat kembali terasa di sudut-sudut pasar Ponorogo. Sejak H+3 Idul Fitri, para pedagang janur daun kelapa muda mulai bermunculan di Pasar Legi, Pasar Pon, hingga sepanjang jalan desa seperti Singosaren, Mangunsuman, dan Kadipaten.

Tak hanya menandai datangnya hari raya kedua, kehadiran mereka juga merekam dinamika ekonomi musiman yang memanfaatkan tradisi lokal. 

Di antara tumpukan janur dan obrolan tawar-menawar, tersimpan harapan warga akan tambahan rezeki.

“Saya sudah 10 tahun jualan janur tiap menjelang Lebaran Ketupat. Ramainya mulai tiga hari sebelum lebaran. Kalau cuaca cerah, sehari bisa laku sampai 30 ikat,” ujar Mariyah (55), warga Desa Singosaren, saat ditemui di Pasar Pon, Minggu (6/4/2025).

Janur yang dijual Mariyah berasal dari Pasar Pulung. Ia membelinya grosiran untuk kemudian dijajakan kembali di pasar dan pinggiran desa. Beberapa pedagang lain memilih memetik langsung dari kebun, lalu berkeliling menjajakan janur ke rumah-rumah warga. 

Harga satu ikat janur bervariasi, antara Rp5.000 hingga Rp15.000, tergantung kualitas dan ukuran daun.

Lebaran Ketupat, yang dirayakan sepekan setelah IdulFitri, memang lekat dengan identitas budaya masyarakat Jawa, termasuk Ponorogo. 

Ketupat disajikan bersama opor ayam, sayur lodeh, dan sambal goreng, menjadi simbol syukur dan penyucian diri setelah menjalani ibadah puasa sebulan penuh.

“Kalau belum makan ketupat, rasanya belum sah lebaran. Kami sekeluarga bikin ketupat bareng, terus makan bareng saudara. Saya beli janur dua hari sebelumnya, biar masih segar saat dianyam,” tutur Wulan (36), warga Singosaren, yang tengah memilih janur di pasar.

Namun, lebih dari sekadar menu lebaran, ketupat juga menjadi titik temu silaturahmi lanjutan, terutama bagi mereka yang tak sempat berkunjung saat Idulfitri. 

Beberapa desa bahkan masih menjaga tradisi kenduri ketupat, di mana warga berkumpul, membawa hidangan dari rumah masing-masing, lalu makan bersama.

Di sisi lain, kemunculan pedagang janur membawa berkah ekonomi bagi warga desa. Ibu rumah tangga, petani kecil, hingga remaja sekolah memanfaatkan momen ini untuk menjual janur, bahkan melayani jasa anyaman ketupat. 

Dalam sehari, tak sedikit dari mereka yang bisa mengantongi pendapatan tambahan hingga puluhan ribu rupiah.

“Tradisi ini bukan hanya melestarikan budaya, tapi juga menghidupkan ekonomi mikro. Bagi kami, ini musim panen kecil-kecilan,” kata Sarmi, pedagang janur keliling asal Kadipaten.

Pemerintah daerah sejauh ini memberi ruang bagi aktivitas ekonomi tersebut, meski belum ada kebijakan khusus terkait pelestarian tradisi Lebaran Ketupat secara resmi. 

Namun geliat masyarakat membuktikan bahwa warisan budaya lokal tetap hidup dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari.

Lebaran Ketupat bukan sekadar seremonial, melainkan ekspresi kebersamaan yang mampu mendorong perputaran ekonomi rakyat. 

Dan di antara janur yang teranyam rapi, Ponorogo kembali menegaskan jati dirinya sebagai kota tradisi yang hidup di tengah perubahan zaman.

Penulis : Nanang

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama

🌐 Dibaca :