Suasana sidang mediasi antara Samsuri vs BRI di pengadilan negeri Ponorogo
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Harapan menyelesaikan sengketa secara damai antara Samsuri, pedagang ayam asal Kelurahan Patihan Wetan, dengan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk kandas di ruang mediasi Pengadilan Negeri Ponorogo, Selasa siang (3/6/2025). Mediasi yang berlangsung selama satu setengah jam itu resmi dinyatakan deadlock, membuka jalan pada babak baru sidang pembuktian.
Samsuri hadir dalam sidang didampingi kuasa hukumnya, Wahyu Dhita Putranto, SH, MH, sementara dari pihak BRI tampak Kepala Unit Pasar Pon dan tim dari BRI Cabang Ponorogo, lengkap dengan perwakilan kuasa hukum. Namun, kehadiran formal itu tak menjembatani keinginan kedua belah pihak.
“Sidang mediasi hari ini deadlock. Tidak ada titik temu karena pihak BRI tetap menolak memberikan kompensasi. Mereka beralasan sudah bertindak sesuai prosedur,” ujar Wahyu usai sidang.
Dengan tidak tercapainya kesepakatan damai, persidangan akan berlanjut pada 10 Juni 2025 dengan agenda pembuktian. Kuasa hukum Samsuri menegaskan pihaknya siap mengungkap fakta-fakta dan argumen hukum di hadapan majelis hakim.
“Kami akan hadapi proses ini dengan semua bukti yang kami miliki. Ini bukan hanya soal nama baik klien kami, tapi soal keadilan dan batas etika lembaga keuangan dalam bertindak terhadap masyarakat kecil,” tambah Wahyu.
Stiker Penunggak dan Malam yang Menjadi Luka
Sengketa ini bermula dari peristiwa yang terjadi beberapa bulan lalu. Rumah Samsuri, yang sehari-hari menggantungkan hidup sebagai pedagang ayam, tiba-tiba ditempeli stiker penunggak hutang oleh petugas BRI. Ironisnya, Samsuri merasa tak pernah memiliki pinjaman aktif di bank tersebut.
Yang menyakitkan, tindakan itu dilakukan tanpa izin masuk pekarangan rumah dan dilakukan malam hari, membuat keluarga Samsuri merasa dipermalukan di hadapan tetangga. Harga diri dan nama baik mereka, kata kuasa hukum, seperti diinjak oleh cara-cara yang semestinya tak dilakukan oleh lembaga keuangan sebesar BRI.
Merasa dirugikan dan dilecehkan secara moral, Samsuri melapor ke Polres Ponorogo dan menggugat secara perdata ke pengadilan.
“Saya hanya orang kecil. Tapi martabat saya juga punya nilai. Saya tidak ingin keluarga saya hidup dalam aib yang tidak mereka perbuat,” ungkap Samsuri saat ditemui usai sidang.
Diamnya BRI, Sorotan Publik Menguat
Berbeda dengan pihak penggugat yang terbuka terhadap media, kuasa hukum BRI memilih bungkam. Ketika dicegat sejumlah wartawan usai sidang, mereka enggan memberikan pernyataan. Bahkan, salah satu kuasa hukum memilih bertelepon sambil meninggalkan lokasi, mengabaikan pertanyaan yang diajukan.
Sikap ini menambah sorotan publik terhadap cara-cara penagihan utang yang dinilai melampaui batas, dan memunculkan perdebatan etis di ruang publik Ponorogo: sejauh mana bank bisa bertindak terhadap nasabah atau mantan nasabah, dan sejauh mana hak individu harus dilindungi?
Menanti Pembuktian, Menggugat Ketimpangan
Sidang pembuktian pada 10 Juni nanti menjadi momentum penting. Tidak hanya bagi Samsuri dan keluarganya, tetapi juga bagi praktik lembaga keuangan ke depan. Apakah pendekatan hukum bisa memberi ruang keadilan bagi suara rakyat kecil? Ataukah kembali menjadi arena yang dimenangkan oleh kuasa dan kekuatan modal?
Samsuri kini bersiap. Dengan tenang namun tegas, ia melangkah meninggalkan ruang sidang. Di balik langkahnya, ada satu pesan: bahwa harga diri tidak bisa dibeli, dan keadilan masih mungkin diperjuangkan, meski harus berhadapan dengan raksasa.
Penulis : Nanang
Jurnalistik yg memihak
BalasHapusTuhan pun jg memihak😜
HapusKan dalam perjanjian kredit ada tu dijelaskan mengenai agunan ...
BalasHapusYg d serang pihak bank kan adalah agunan nya ...
Wokwowk Itu si Samsuri ngontrak ato beli rumah yg surat nya masih di agunkan di bank ??
Kalo gak mau malu maka lunasilah hutang wkwkwk
BalasHapusPosting Komentar