Keberatan atas Tuntutan 5 Tahun Penjara, Kuasa Hukum Mantan Kades Sawoo: “Hukuman Tak Proporsional, Anak-Anaknya Bisa Terlantar”

Suyatman, SH, MH
Kuasa hukum SR

PONOROGO, SINYALPONOROGO
-Tuntutan lima tahun penjara dan denda Rp200 juta terhadap SR, mantan Kepala Desa Sawoo, menuai keberatan dari pihak kuasa hukumnya. Suyatman, SH, MH, selaku penasihat hukum SR, menyatakan bahwa tuntutan jaksa terlalu berat dan tidak mempertimbangkan kondisi sosial maupun nilai-nilai keadilan substantif.

SR dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) karena diduga melakukan pungutan liar dalam proses penyegelan tanah milik warga. Ia didakwa melanggar Pasal 12 huruf e UU Tipikor jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. 

Dalam surat tuntutan yang dibacakan pada 14 Maret 2025, JPU menyebut SR terbukti menerima uang sebesar Rp17,85 juta dari warga sebagai “biaya segel” saat menjabat kepala desa.

Namun, dalam nota pembelaan, Suyatman menilai praktik tersebut merupakan bagian dari kebiasaan atau budaya lokal yang telah lama berlangsung, jauh sebelum SR menjabat. 

“Pemberian uang itu bukan karena paksaan, tapi bentuk tanda terima kasih warga. Hal ini diperkuat oleh keterangan saksi Karsono, Munawiryo, Tulus, dan Misni,” ujar Suyatman.

Menurutnya, aparat penegak hukum seharusnya terlebih dahulu melakukan edukasi dan sosialisasi mengenai gratifikasi kepada masyarakat desa, bukan langsung menjadikan praktik tersebut sebagai dasar tuntutan pidana.

“Kalau memang itu dianggap pelanggaran hukum, lalu di mana peran negara selama ini? Tidak ada edukasi, tidak ada pencegahan,” tandasnya.

Tak hanya menyoal unsur pidana, kuasa hukum juga menekankan aspek kemanusiaan dalam perkara ini. SR diketahui memiliki empat anak, dua di antaranya masih balita. Istrinya tidak bekerja dan hanya mengandalkan bantuan saudara dan tetangga selama SR ditahan.

“Hukuman lima tahun penjara akan menyebabkan penelantaran anak-anaknya, ini melanggar hak anak sebagaimana diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945,” tegas Suyatman.

Terkait denda Rp200 juta yang dibebankan, kuasa hukum menyebut nominal itu jauh dari rasional. Pasalnya, jumlah uang yang diterima terdakwa “hanya” Rp17,85 juta. 

Sementara SR berlatar belakang sebagai buruh tani tanpa kepemilikan tanah dan saat menjabat hanya bergaji Rp2,4 juta dengan tambahan tunjangan Rp1,2 juta per bulan.

“Dari mana dia membayar denda sebesar itu? Tidak ada aset, tidak ada simpanan. Denda ini justru kontraproduktif dan semakin menjerumuskan keluarga terdakwa ke jurang kemiskinan,” imbuh Suyatman.

Ia mengutip pendapat ahli hukum Gustav Radbruch yang menyebut keadilan merupakan puncak dari semua asas hukum. 

“Kepastian dan kemanfaatan hukum tidak boleh berdiri sendiri. Semua harus bermuara pada keadilan,” katanya.

Pihak kuasa hukum berharap majelis hakim mempertimbangkan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis sebelum menjatuhkan vonis. 

“Kami minta keadilan ditegakkan dengan nurani. Jangan sampai hukum malah melukai rasa keadilan masyarakat kecil,” pungkasnya.

Penulis : Nanang

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama

🌐 Dibaca :