PKL 24 Jam di Suromenggolo: Mencari Nafkah atau Menantang Aturan?

Penulis adalah Nanang Rianto, S.Sos
Wartawan Sinyal Ponorogo
 

PONOROGO,- Pemindahan car free day (CFD) dari Jalan Suromenggolo ke Jalan HOS Cokroaminoto dan Jenderal Sudirman pada 9 Februari 2025 memang mengubah wajah kawasan tersebut. 

Namun, perubahan ini ternyata tak serta-merta diikuti oleh para pedagang kaki lima (PKL) yang selama ini mengandalkan kawasan itu sebagai ladang penghidupan.

Pemerintah Kabupaten Ponorogo melalui Dinas Perdagangan, Koperasi, dan Usaha Mikro (Perdakum) sebenarnya sudah memberi kelonggaran. PKL masih diperbolehkan berjualan di Jalan Suromenggolo, asalkan mereka membersihkan lokasi setelah berjualan dan tidak meninggalkan gerobak atau rombong di sana. Mayoritas PKL mengikuti aturan ini, tapi segelintir lainnya justru mencari celah.

Mereka memilih berjualan 24 jam penuh, berdalih kebutuhan ekonomi yang mendesak. Dengan berjualan nonstop, mereka merasa tak perlu memindahkan gerobaknya karena tak pernah benar-benar "selesai" berjualan.

"Sudah biasa. Keluarga saya butuh uang, jadi harus jualan terus," ujar salah seorang pedagang.

Ketika dipertanyakan soal ketertiban, mereka balik bertanya, "Kalau saya dilarang jualan di sini, apa pemerintah mau menafkahi saya?"

Antara Regulasi dan Realitas Lapangan

Fenomena PKL 24 jam ini menjadi tantangan bagi pemerintah. Satpol PP sudah berusaha memberi edukasi, tapi tampaknya hanya diterima di permukaan. Para pedagang tetap bertahan dengan prinsipnya: jualan di situ atau kehilangan sumber pendapatan.

Di sisi lain, fakta bahwa PKL masih menggelar dagangan di tengah jalan setiap Minggu pagi, seperti saat CFD masih berlangsung, menunjukkan lemahnya penegakan aturan. Padahal, sejak CFD dipindahkan, kawasan itu seharusnya sudah kembali menjadi jalur lalu lintas biasa.

Dishub dan Perdakum sudah berusaha menertibkan, tapi di lapangan, kebiasaan lama masih sulit diubah. Para pedagang tetap berdagang di badan jalan, pejalan kaki tetap ramai, dan arus lalu lintas kembali tersendat. Suromenggolo tetap terasa seperti kawasan CFD, meski secara aturan sudah bukan lagi.

Mencari Titik Tengah: Ketertiban vs. Kemanusiaan

Masalah ini bukan sekadar soal aturan, tapi juga tentang keseimbangan antara ketertiban kota dan hak rakyat kecil untuk mencari nafkah.

Di satu sisi, pemerintah tentu ingin menjaga estetika dan ketertiban kota. Kota yang tertata rapi akan lebih nyaman bagi warganya dan lebih menarik bagi pengunjung. Namun, di sisi lain, PKL juga adalah bagian dari denyut ekonomi Ponorogo.

Jika langsung ditertibkan tanpa solusi alternatif, mereka bisa kehilangan mata pencaharian. Jika dibiarkan, ketidakpatuhan ini bisa menjadi preseden buruk bagi kebijakan penataan kota.

Solusi terbaik harus dicari. Apakah perlu dibuat aturan zonasi baru bagi PKL? Ataukah perlu pendekatan lebih persuasif agar mereka mau beradaptasi dengan perubahan? Pemerintah tak bisa sekadar mengimbau, sementara pedagang tak bisa sekadar menuntut. Harus ada titik temu yang adil bagi kedua belah pihak.

Ponorogo butuh ruang yang tertib, tapi juga butuh masyarakat yang sejahtera. Menata kota bukan sekadar menertibkan, tapi juga memastikan tak ada yang kehilangan haknya untuk hidup.***

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama

🌐 Dibaca :