Di Balik Denda Resign: Ketika Karyawan Diperlakukan Seperti Barang Kontrak

Nanang Rianto, S.Sos
Penulis adalah Wartawan Sinyal Ponorogo 

PONOROGO,- Peristiwa memilukan kembali mencuat dari dunia kerja di Ponorogo. Seorang karyawan apotek di wilayah Sambit yang mengundurkan diri secara baik-baik, justru diminta membayar denda Rp5 juta karena belum genap dua tahun bekerja sesuai perjanjian kontrak. Ironisnya, gaji yang diterima hanya Rp800 ribu per bulan—jauh di bawah Upah Minimum Kabupaten (UMK) Ponorogo.

Kasus ini bukan insiden tunggal. Setelah pemberitaan ini viral, redaksi Sinyal Ponorogo menerima berbagai testimoni dari pembaca. Cerita-cerita serupa bermunculan, menunjukkan bahwa praktik “denda resign” bukan hal langka, tapi justru dianggap lazim dan seolah sah oleh sebagian pengusaha.

Ada karyawan yang harus menandatangani kontrak dengan klausul penalti, bahkan menyetor “uang jaminan” di muka yang akan hangus bila mereka mundur sebelum masa kontrak usai. Di sisi lain, upah rendah, tidak sesuai UMK, jam kerja panjang, dan THR yang ditentukan sepihak adalah fakta pahit yang harus mereka telan.

Logika Terbalik: Pekerja Dipaksa Tahan Banting, Tapi Tidak Dimanusiakan

Model relasi kerja seperti ini berangkat dari logika timpang: pengusaha merasa berhak mengikat karyawan dengan aturan ketat, namun tidak merasa wajib memberikan hak-hak dasar yang layak. 

Jika seorang karyawan mengundurkan diri karena alasan tidak betah atau merasa tidak nyaman, ia dianggap lemah dan tak tahan banting. Padahal, bisa jadi ketidaknyamanan itu muncul karena tekanan sistem yang eksploitatif.

Sungguh menyedihkan jika tenaga, waktu, dan pikiran karyawan diperas semaksimal mungkin, lalu ketika mereka ingin berhenti, justru dipersulit dan dibebani denda. Apakah ini yang kita sebut “kontrak kerja”? Atau sebenarnya ini hanya bentuk baru dari perbudakan modern?

Saatnya Dinas Tenaga Kerja Tidak Diam

Sudah saatnya Dinas Tenaga Kerja Ponorogo turun tangan. Pemeriksaan dan sidak ke sejumlah tempat kerja harus dilakukan secara serius, bukan simbolik. Hak-hak karyawan harus dijamin: gaji sesuai UMK, THR yang manusiawi, kontrak kerja yang adil, serta lingkungan kerja yang layak dan sehat.

Jika praktik kotor semacam ini dibiarkan, akan tumbuh keyakinan di benak pengusaha bahwa tenaga kerja bisa dibeli dan dikunci dengan selembar kontrak sepihak. 

Bila sudah terlalu jauh, aparat penegak hukum (APH) juga perlu bertindak. Efek jera bukan untuk menakut-nakuti, tapi sebagai pengingat bahwa hukum berpihak pada keadilan, bukan pada kuasa modal.

Keadilan Bagi Semua, Bukan Keistimewaan Segelintir

Pekerjaan harus menjadi ruang tumbuh, bukan jebakan. Pengusaha berhak atas keuntungan, tapi bukan dengan cara menindas. 

Karyawan juga punya mimpi dan masa depan. Jika ruang itu dibatasi dengan sistem kerja yang menyandera, maka kita sedang membangun masyarakat yang pincang.

Mari kita ubah pola pikir. Dunia usaha harus jadi ruang saling dukung. Karyawan bukan beban, tapi aset. Jika diperlakukan dengan layak, mereka akan memberikan yang terbaik. Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah kunci. Usaha bisa maju, pekerja pun bahagia.

Karena sukses bukan hanya milik pemilik modal, tapi milik semua yang berjuang bersama.***

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama

🌐 Dibaca :