![]() |
Nanang Rianto, S.Sos Penulis adalah wartawan Sinyal Ponorogo |
Apa yang semula adalah obrolan santai dan candaan ringan berubah menjadi perdebatan panas, bahkan terkadang menjurus pada serangan personal. Ketika argumen kehabisan logika dan bahan, serangan pribadi pun muncul sebagai pelampiasan.
Tak jarang, para kawan lama ini saling melontarkan sindiran tajam seperti, "Wes tuwek kok dleming" — kata-kata yang secara tersirat mempertanyakan kedewasaan dan kebijaksanaan di usia tua, dan ini tentu menyakiti perasaan.
Fenomena ini memperlihatkan sisi lain dari dinamika politik, terutama di tingkat lokal, di mana hubungan antar-individu sering kali lebih dekat dan personal.
Bagi sebagian orang, dukungan politik menjadi simbol dari kepercayaan dan loyalitas, sehingga perbedaan pilihan bisa dianggap sebagai bentuk pengkhianatan, walau sebetulnya ini hanya soal pandangan yang beragam.
Akibatnya, tak sedikit orang yang merasa perlu mempertahankan pilihannya dengan cara apa pun, termasuk menyerang sisi pribadi teman sendiri.
Realitas ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita, terutama bagi mereka yang sudah lebih dewasa, untuk lebih bijak dalam menyikapi perbedaan. Kebijaksanaan sejati bukan hanya dilihat dari usia, tetapi juga dari cara kita memperlakukan orang lain, bahkan di tengah perbedaan pandangan.
Alih-alih memicu perpecahan, persahabatan bisa menjadi sarana untuk saling memahami pandangan berbeda, karena tidak ada pilihan yang benar-benar mutlak di dalam politik.
Penting juga untuk diingat bahwa momen Pilkada hanya sementara, sementara persahabatan yang telah terjalin bertahun-tahun adalah harta yang seharusnya dipertahankan. Saling menghormati perbedaan pilihan akan jauh lebih bermakna daripada memenangkan perdebatan politik yang sekadar berumur pendek.
Kematangan berpikir seharusnya mendorong kita untuk lebih peduli pada ikatan emosional ketimbang mempertaruhkan persahabatan hanya karena pilihan politik yang berbeda.
Ponorogo, 30 Oktober 2024.
Posting Komentar