Dinamika ASN dan Kekuasaan: Antara Loyalitas, Netralitas, dan Risiko Politik

Oleh : Nanang Rianto, S.Sos
Wartawan Sinyal Ponorogo
 

PONOROGO,- Pertengahan Februari 2025, publik Ponorogo dikejutkan dengan keputusan Bupati H. Sugiri Sancoko yang menonaktifkan seorang pejabat eselon II di lingkup Pemerintah Kabupaten Ponorogo. Langkah tegas ini mengundang berbagai spekulasi. 

Sekretaris Daerah Agus Pramono, ketika dimintai keterangan oleh awak media, enggan mengungkap kesalahan pejabat tersebut, hanya menegaskan bahwa keputusan itu telah melalui proses panjang oleh Inspektorat dan BKPSDM Ponorogo.

Kabar ini sontak menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat. Ada yang menduga bahwa keputusan ini tak lepas dari dinamika politik pasca-Pilkada 2024. Pejabat tersebut disebut-sebut memiliki kedekatan dengan kelompok politik tertentu yang berseberangan dengan bupati. 

Namun, ada pula spekulasi lain yang menyebut bahwa keputusan tersebut berkaitan dengan kebiasaan pribadi pejabat bersangkutan yang kerap terlibat dalam perjudian (bobotoh).

Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut, satu hal yang pasti: keputusan menonaktifkan pejabat bukanlah hal baru dalam sejarah pemerintahan Ponorogo. Media Sinyal Ponorogo mencatat bahwa fenomena ini telah terjadi di berbagai era kepemimpinan bupati sebelumnya.

Di era Bupati Muhadi Suyono, seorang camat dinonaktifkan karena diduga terlibat dalam politik praktis. Namun, setelah pergantian kepemimpinan, pejabat tersebut kembali meniti kariernya hingga menduduki jabatan strategis. 

Berbeda dengan era pemerintahan Amin (ADA), di mana tidak ada pejabat yang dinonaktifkan, meski beberapa pejabat yang sebelumnya dicopot berhasil mendapatkan kembali posisinya. 

Sementara itu, di era Bupati Ipong Muchlissoni, seorang camat juga dinonaktifkan, tetapi bukan karena alasan politik, melainkan akibat kasus asusila. Menariknya, pejabat tersebut justru kembali meniti kariernya dan mendapatkan jabatan yang lebih baik di era Sugiri Sancoko.

Dari catatan sejarah ini, ada satu benang merah yang bisa ditarik: dalam politik birokrasi, posisi seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) sangatlah dinamis. Loyalitas, kedekatan politik, serta integritas pribadi sering kali menjadi faktor yang menentukan nasib mereka. 

ASN memang diwajibkan untuk netral dalam politik, tetapi pada kenyataannya, posisi mereka sering kali berada dalam pusaran tarik-menarik kekuasaan.

Bagi ASN yang terpaksa terseret dalam politik karena diajak oleh kelompok tertentu, risiko akan selalu ada, terutama jika pihak yang mereka dukung kalah dalam kontestasi. 

Sebaliknya, bagi ASN yang memang secara sadar terlibat dalam politik praktis, konsekuensinya harus siap ditanggung sendiri.

Namun, lebih dari sekadar persoalan individu, kasus ini seharusnya menjadi refleksi bagi seluruh pejabat publik. Jabatan bukanlah sesuatu yang abadi. Pergantian kepemimpinan akan selalu membawa dinamika baru. 

Yang paling penting adalah bagaimana seorang ASN tetap profesional, menjaga integritas, serta bekerja berdasarkan aturan dan kepentingan masyarakat, bukan kepentingan politik sesaat.

Ke depan, Ponorogo membutuhkan birokrasi yang lebih stabil dan profesional. Jika setiap pergantian kepemimpinan selalu diiringi dengan gonjang-ganjing birokrasi, maka yang dirugikan bukan hanya para pejabat, tetapi juga masyarakat yang membutuhkan pelayanan terbaik. Loyalitas kepada negara dan rakyat harus menjadi prinsip utama, bukan sekadar loyalitas kepada individu atau kelompok politik tertentu.***

0/Post a Comment/Comments

Lebih baru Lebih lama

🌐 Dibaca :