Ponorogo Batik Festival 2025: Batik Lokal Melaju ke Panggung Global
![]() |
Penyerahan sertifikat kepada pengrajin batik dan pelaku kreatif. Tampak Ibu Yulia Ayu Srikanthi, Ketua Yayasan Menabung Air serahkan sertifikat |
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Geliat batik Ponorogo memasuki babak baru. Tidak sekadar kain bermotif indah, batik kini menjadi bahasa budaya yang menyatukan tradisi dan masa depan. Itulah semangat yang terasa membuncah di Hotel Maesa Ponorogo, Sabtu (28/6), dalam perhelatan Ponorogo Batik Festival 2025.
Festival ini bukan sekadar pagelaran kain, tetapi panggung inovasi yang menghubungkan warisan leluhur dengan pasar global. Bertema “Harmoni Tradisi dan Budaya,”
Acara yang digelar atas kolaborasi Maesa Hotel, Fashion Design Business Universitas Ciputra Surabaya, dan Pemerintah Kabupaten Ponorogo itu menghadirkan batik khas Ponorogo dalam balutan kontemporer.
![]() |
Kang Bupati Sugiri Sancoko ketika melihat langsung batik Festival di Maesa Hotel |
Hadir dalam festival ini beragam tokoh penting: Aan Wildan Ahsani (Direktur Maesa Hotel), Bobby Wibowo (CEO Maesa Group), Bupati Ponorogo Kang Giri, hingga praktisi batik seperti Widodo (Batik Shaka), Eko Mulyadi (Batik Ciprat), Christin (Batik Lesoeng), dan desainer muda Fabio (Universitas Ciputra). Turut memperkuat panggung, para model dari LS Model yang berlenggak-lenggok mengenakan batik modern penuh filosofi.
Dari Panggung Budaya ke Diplomasi Ekonomi
Festival dibuka meriah lewat pertunjukan Tari Jathilan, seolah menjadi pengingat bahwa energi budaya Ponorogo tak pernah padam.
“Ponorogo Batik Festival bukan sekadar pertunjukan budaya, tetapi ruang kolaborasi. Kami ingin Maesa Hotel menjadi titik temu antara tradisi dan inovasi,” tegas Aan Wildan Ahsani dalam sambutannya.
Sementara itu, CEO Maesa Group, Bobby Wibowo, menambahkan visi yang lebih jauh. “Maesa Hotel bukan hanya tempat menginap. Kami ingin menjadi rumah besar bagi budaya, ekonomi kreatif, dan pembangunan berkelanjutan. Dan hari ini adalah bukti komitmen kami,” ujarnya.
Tak kalah bersemangat, Bupati Ponorogo Kang Giri menyerukan pentingnya memelihara warisan lokal agar tidak tenggelam di arus globalisasi.
“Batik adalah kearifan lokal yang harus kita jaga dan kembangkan. Kegiatan seperti ini bukan hanya melestarikan budaya, tetapi membuka ruang ekonomi baru bagi para pengrajin, UMKM, dan generasi muda kreatif,” katanya.
Kang Giri bahkan menantang masyarakat Ponorogo menjadikan batik sebagai identitas keseharian, bukan hanya dikenakan saat acara resmi.
Batik Ponorogo Siap Mendunia
Puncak festival menampilkan Fashion Show Batik Ponorogo. Di catwalk, para model memamerkan karya mahasiswa Universitas Ciputra berkolaborasi dengan sanggar batik lokal.
Motif klasik seperti gringsing, lung-lungan, dan barong tampil memikat dalam desain modern: potongan blazer, dress asimetris, hingga outer kasual yang memikat mata penonton.
Aura panggung semakin berkelas saat finalis Putera-Puteri Batik Ponorogo 2025 turut memeragakan busana. Mereka bukan hanya memperagakan batik, tetapi membawa narasi: batik Ponorogo layak menjadi identitas bangsa yang berkelas internasional.
Di sisi lain, Workshop Membatik yang digelar oleh Batik Shaka menjadi magnet generasi muda. Di setiap meja, anak-anak muda antusias mencanting kain putih, belajar membuat motif khas Ponorogo. Suara kompor kecil yang memanaskan malam batik, berpadu tawa peserta yang merasa sedang menggambar cerita di atas kain.
Talkshow bertema “Strategi Branding Batik Lokal ke Pasar Global” mengundang praktisi fashion dan akademisi Universitas Ciputra. Fabio, salah satu narasumber, menekankan pentingnya storytelling dalam batik.
“Batik bukan hanya produk. Ia adalah kisah yang harus dijual ke dunia. Dunia mencari keunikan, bukan sekadar kain,” ujarnya.
UMKM Bangkit, Wisatawan Terpikat
Sorak sorai pengunjung tak hanya terjadi di panggung utama. Area pameran UMKM dan batik kreatif penuh sesak. Booth-booth Batik Neotral, Batik Lesoeng, Batik Ciprat, Batik Lanang Wadon, hingga SiGUN Batik menawarkan karya penuh warna.
Batik ciprat dengan corak abstrak modern jadi rebutan pengunjung, termasuk turis asing yang terlihat antusias membeli langsung dari perajin.
Pengunjung tidak hanya datang dari Ponorogo. Wisatawan luar kota, komunitas fashion, akademisi, hingga mahasiswa tumpah ruah memenuhi Hotel Maesa sejak pagi.
Salah satu pengunjung, Ratih (24), mahasiswa desain tekstil asal Surabaya, mengaku kagum. “Motif batik Ponorogo itu unik banget. Ada karakter tersendiri. Saya pengin bikin koleksi busana pakai motif ini,” ujarnya sambil menenteng belanjaan batik.
Momentum puncak terjadi saat Bobby Wibowo menuliskan kata “Ponorogo Batik Festival” di atas kanvas putih, disaksikan pengunjung. Tepuk tangan pun membahana, seolah mengukuhkan tekad bersama: batik Ponorogo harus mendunia.
Ponorogo Batik Festival 2025 membuktikan satu hal: ketika tradisi dan inovasi berpegangan tangan, budaya lokal tak hanya lestari, tetapi melesat ke panggung global.
“Batik adalah identitas. Ponorogo punya harta karun ini. Tugas kita memastikan batik terus hidup, tak hanya sebagai warisan, tapi juga sebagai masa depan,” ujar Kang Giri, menutup festival penuh semangat.
Dan Ponorogo seolah berbisik, batik bukan sekadar kain, tetapi nyawa yang menenun kisah sebuah daerah.(Nang/SP/Humas/Red).