SPMB Dinilai Tebang Pilih, Dewan Pendidikan Dorong Sinergi dan Keadilan Lintas Lembaga
![]() |
Gambar karikatur SPMB 2025 (foto istimewa) |
PONOROGO, SINYALPONOROGO – Polemik Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) di Ponorogo memunculkan perbincangan publik soal keadilan dalam sistem pendidikan. Warga mempertanyakan perbedaan perlakuan antara sekolah-sekolah di bawah Kementerian Agama (Kemenag) dan Dinas Pendidikan (Diknas), khususnya terkait kuota dan fleksibilitas pendaftaran.
Sekolah di bawah Kemenag, seperti madrasah, dianggap lebih longgar tanpa pembatasan kuota ketat, sedangkan sekolah umum yang dinaungi Diknas harus mematuhi ketentuan daerah yang mengatur kuota dan waktu pendaftaran secara terstruktur. Kondisi itu dinilai sebagian warga sebagai bentuk tebang pilih yang bisa menimbulkan ketimpangan akses pendidikan.
![]() |
Prof. Dr. Muhamad Fajar Pramono, M.Si Assoc. Dewan Pendidikan Kabupaten Ponorogo |
Menanggapi hal tersebut, Assoc Dewan Pendidikan Kabupaten Ponorogo, Prof. Dr. Muhamad Fajar Pramono, M.Si, menekankan pentingnya sinergi antarlembaga demi menciptakan keadilan dan harmoni dalam dunia pendidikan.
“Tidak ada aturan yang dilanggar, tapi ini menyangkut persepsi keadilan publik. Solusinya adalah duduk bersama antara Diknas dan Kemenag agar tidak ada kesenjangan perlakuan,” ujar Prof. Fajar, Selasa (22/7/2025).
Dua Faktor Penting: Kualitas dan Kehadiran Negara
Lebih lanjut, Prof. Fajar menyampaikan bahwa perbedaan perlakuan dalam SPMB hanya gejala dari masalah yang lebih mendasar. Ia menyoroti dua faktor penting yang harus jadi perhatian pemerintah daerah maupun pusat:
-
Faktor kualitas pendidikan.
Menurutnya, saat ini hampir semua sekolah di Ponorogo tidak kekurangan siswa. Artinya, masalah utama bukan pada kuantitas murid, melainkan pada peningkatan mutu pendidikan itu sendiri. -
Kehadiran negara dalam dunia pendidikan.
Prof. Fajar menilai, semakin besar biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat atau wali siswa, menandakan minimnya peran negara dalam pembiayaan pendidikan. Sebaliknya, jika beban biaya masyarakat rendah, itu menunjukkan bahwa negara hadir secara nyata dalam pendidikan, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru atau di negara-negara maju dengan dukungan anggaran pendidikan yang kuat.
“Negara harus hadir secara merata, baik di sekolah negeri maupun swasta, umum maupun agama. Keadilan tidak hanya soal kuota siswa, tapi juga tentang siapa yang paling banyak menanggung biaya pendidikan itu,” tegasnya.
Mendorong Dialog dan Reformasi Kebijakan
Dewan Pendidikan, lanjut Prof. Fajar, siap menjadi fasilitator dialog antara Kemenag dan Dinas Pendidikan agar tidak ada lagi “sekat-sekat administratif” yang menimbulkan ketimpangan. Ia juga menyarankan jika perlu, revisi regulasi lokal dan nasional dilakukan agar lebih selaras dengan prinsip keadilan sosial.
“Pendidikan adalah tanggung jawab bersama. Sinergi dan komunikasi antarinstansi adalah kunci, agar setiap anak mendapatkan peluang yang sama untuk tumbuh dan berkembang,” tutup Prof. Fajar.
Penulis : Nanang